Hukum air mani
Studi Perbandingan Mazhab
Para Ulama bersepakat bahwa membersihkan pakaian atau badan dari air mani adalah disyariatkan. Namun mereka berbeda pendapat mengenai kesucian air mani tersebut. Apakah air mani itu suci atau najis. Jika najis bagaimana cara menyucikannya, apakah cukup dengan dikerik atau diusap dengan kain ataukah harus dicuci dengan air. Berikut ini penjelasan secara rinci mengenai hal tersebut:
1. Pendapat pertama
Mereka mengatakan bahwa air mani adalah suci dan tidak wajib membersihkannya. Ini adalah mazhab Imam Syafi’I dan pendapat termasyhur dalam mazhab Imam Ahmad. Juga diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Abbas, Sa'd bin Abi Waqqash dan Ibnu Umar.
Dengan dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah:
“Dan Kami telah memuliakan anak cucu Adam” (QS. Al Isra: 70)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah telah memuliakan manusia, sedangkan manusia berasal dari air mani. Maka, bagaimana mungkin makhluk yang telah dimuliakan oleh Allah berasal dari sesuatu yang najis.
2. Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Rasulullah pernah ditanya tentang air mani yang mengenai pakaian, maka beliau menjawab: “Hanyasanya air mani itu adalah seperti ingus dan air ludah, dan cukup kamu mengusapnya dengan sepotong kain atau dengan daun idkhir”.
Dalam hadits ini, Rasulullah SAW menyerupakan air mani dengan ingus dan air ludah, sedangkan para ulama tak ada yang berselisih tentang kesucian kedua cairan tersebut (yakni ingus dan air ludah). Tata cara yang beliau ajarkan dalam membersihkan air mani juga mengisyaratkan bahwa air mani itu tidak najis. Karena pada dasarnya membersihkan najis adalah dengan air dan tidak cukup dengan mengusapnya dengan kain atau daun.
3. Dari Aisyah r.a. ia berkata: “Aku pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah SAW, kemudain beliau pergi sholat dengan pakaian tersebut”. Dalam riwayat Muslim, "Aku telah mengeriknya (mani) dari pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau sholat dengannya (pakaian yang terkena mani tersebut).
Hadits ini serupa dengan hadits sebelumnya, melainkan cara membersihkan mani yang mengenai pakaian saja yang berbeda. Hadits ini juga menjadi dalil penguat bahwa air mani adalah suci, dengan alasan seandainya air mani adalah najis maka tidak cukup menyucikannya dengan mengeriknya.
Kesimpulannya, air mani adalah suci dan tidak wajib menyucikannya. Inilah pendapat kelompok pertama.
2. Pendapat kedua
Mereka berpendapat bahwa air mani adalah najis, wajib mencucinya jika basah dan mengeriknya jika kering. Ini adalah Mazhab Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal.
Adapun dalil-dalil mereka sebagai berikut:
1) Firman Allah SWT, "Bukankah Aku telah menciptakan kalian dari air yang hina?" (QS. Al Mursalat: 20).
Ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT telah memuliakan manusia tidaklah mengharuskan bahwa asal manusia juga mulia dan suci.
2) Hadits dari Aisyah r.a. ia berkata, "Dahulu aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah SAW jika kering dan mencucinya jika basah".
Hadits ini menunjukkan bahwa mani adalah najis. Dengan alasan: pertama, jika air mani adalah suci maka tentu Aisyah akan membiarkannya pada pakaian Rasulullah SAW. Padahal kenyataannya, ia tidak pernah meninggalkan perbuatan itu dalam kondisi apapun, baik dalam keadaan basah maupun kering. Kedua, jika air mani itu suci, untuk apa Aisyah menyibukkan diri untuk menyucikan sesuatu yang memang telah suci sebelumnya, dan ini adalah tindakan sia-sia.
3) Hadits dari Aisyah r.a. bahwasannya Rasulullah SAW pernah berkata kepadanya, "Cucilah jika ia basah, dan keriklah jika kering".
Hadits ini juga menunjukkan wajibnya menyucikan mani, baik dalam keadaan basah maupun kering. Karena pada dasarnya perintah menunjukkan suatu keharusan.
4) Hadits dari Ammar bin Yasir r.a. bahwasannya Rasulullah SAW berkata, "Hanyasanya pakaian itu dicuci karena lima hal: air kencing, kotoran, darah, mani, dan muntahan", dalam riwayat lain: khomr sebagai ganti dari muntahan.
Dalam hadits ini secara jelas air mani disejajarkan dengan zat-zat yang najis seperti air kencing dsb. Tujuannya tak lain adalah menunjukkan kesamaan hukum hal-hal tersebut.
3. Pendapat ketiga
Pendapat ini mirip dengan pendapat kedua, hanya saja mereka tidak membedakan cara penyucian air mani tersebut dalam kondisi apapun. Mereka mengatakan air mani adalah najis dan wajib mencucinya, baik dalam keadaan basah maupun kering. Ini adalah mazhab Imam Malik, Umar bin Khattab, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan Sa'id bin Musayyab.
Dalil mereka adalah hadits dari Aisyah r.a. ketika menjawab pertanyaan Sulaiman bin Yasaar tentang mani yang mengenai pakaian, "Dahulu aku mencucinya dari pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau keluar untuk sholat, sedangkan bekas cucian itu masih tampak pada pakain berupa sebercak air".
Ungkapan dalam hadits ini umum dan tidak ada keterangan khusus mengenai cara penyucian air mani dalam keadaan basah maupun kering. Jadi kesimpulannya, air mani adalah najis dan wajib mencucinya, baik dalam keadaan basah maupun kering.
Diskusi-diskusi
1. Diskusi seputar kelompok pertama
1. Kritik:
Dalil yang dipakai oleh Syafi'iyah (no. 3) adalah perbuatan Aisyah r.a., bukan perbuatan Nabi SAW, sehingga hal itu bukanlah sebuah hujjah (dalil yang kuat) tanpa perintah dari Rasulullah SAW, atau restu beliau. Ada kemungkinan perbuatan Aisyah tersebut tanpa sepengetahuan Nabi SAW. Sedangkan perbuatan Aisyah itu sendiri justru menunjukkan bahwa air mani adalah najis. Karena, jika tidak demikian tentu Aisyah pernah meninggalkan perbuatan tersebut meskipun hanya sekali.
Tanggapan Syafi'iyah:
Perkataan mereka bahwa perbuatan Aisyah adalah tanpa sepengetahuan Nabi SAW adalah tidak benar, karena di antara kebiasaan Nabi SAW sebelum menunaikan shalat adalah memeriksa kondisi seluruh badan dan pakaian beliau. Sudah barang tentu Rasulullah SAW yakin akan kesucian badan dan pakaian beliau ketika masuk shalat. Karena jika tidak demikian, maka shalat beliau tidak sah, dan hal itu mustahil terjadi. Kemudian mengenai pengerikan mani, hal itu bukan hanya perbuatan Aisyah melainkan Nabi SAW juga pernah melakukannya.
Pertama, diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwasannya Nabi SAW mengusap mani dari pakaiannya dengan daun idkhir, lalu shalat dengan pakaian tersebut. Adapun jika kering beliau mengeriknya, kemudian shalat.
Kedua, hadits shahih riwayat Jarud: bahwa suatu hari Aisyah kedatangan seorang tamu, kemudian tamu tersebut junub dan mencuci pakaiannya. Aisyah berkata kepadanya, "Dahulu Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeriknya".
Adanya hadits yang menunjukkan bahwa Aisyah mengerik mani, kemudian perbuatan Nabi SAW sendiri, dan perintah darinya, semua itu menunjukkan kepada kita bahwa air mani adalah suci. Karena pada dasarnya menyucikan benda najis adalah dengan air, dan pengerikan bukan termasuk cara menyucikan benda najis. Adanya pengalihan cara dari mencuci kepada mengerik menandakan bahwa air mani adalah tidak najis.
Adapun perkataan mereka bahwa Aisyah tidak pernah meninggalkan perbuatan tersebut juga tidak benar. Hal itu terbantah oleh hadits shahih riwayat Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibban, Baihaqy, dan Ad Daruquthny dari Aisyah r.a., bahwasannya ia pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah SAW sementara beliau dalam keadaan shalat. Hadits ini sangat jelas menerangkan bahwa Nabi SAW pernah shalat sedangkan pada pakaiannya masih terdapat mani, lalu Aisyah mengeriknya sementara beliau dalam keadaan shalat. Berdirinya Nabi SAW untuk shalat sementara pada pakaiannya terdapat mani menunjukkan kesucian air mani. Sebaliknya, jika hal itu najis maka tentu shalat Nabi SAW tidak sah, dan hal itu tidak mungkin. Karena Allah SWT pasti akan memberitahukan kepada beliau melalui wahyu sebagaimana ketika sandal beliau terkena najis, lalu Allah SWT memberitahukan hal itu melalui wahyu-Nya.
Sementara belum ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi SAW menghentikan shalatnya atau mengulanginya, maka sekali lagi hal ini menunjukkan sahnya shalat beliau dengan mengenakan pakaian yang terkena air mani.
2. Komentar:
Jika air mani itu suci, lalu mengapa Aisyah bersegera untuk membersihkannya dari pakaian Rasulullah SAW?
Syafi'iyah menjawab:
Rasulullah SAW adalah makhluk yang paling mulia di hadapan Allah SWT, dan beliau menjadi teladan bagi umatnya. Maka tak pantas bagi seorang yang menjadi teladan, keadaannya tidak lebih baik dari yang meneladani. Terlebih, Islam datang dengan membawa ajaran kebersihan. Maka sudah sepantasnya, Aisyah membersihkan pakaian beliau dari hal-hal yang kurang pantas sebagaimana seseorang yang membersihkan pakaiannya dari ingus dan air ludah.
3. Komentar:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tersebut di atas, pada riwayat yang shahih adalah hadits mauquf, sebagaimana dikatakan oleh Baihaqy. Sedangkan Ad Daruquthny mengatakan bahwa hadits tersebut tidak ada yang me-rafa-kan kecuali Ishaq bin Yusuf Al Azraqy.
Syafi'iyah menjawab:
Hal ini tidak mengapa, karena Ishaq bin Yusuf adalah salah seorang di antara imam pen-takhrij hadits di shahihain, maka rafa' dan tambahannya adalah bisa diterima.
2. Diskusi seputar kelompok kedua
1. Komentar:
Pertama, Hadits riwayat Aisyah r.a. (no.2) yang dipakai oleh Hanafiyah adalah hadits mauquf, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah tanpa perintah atau persetujuan dari Nabi SAW.
Kedua, perintah dari Nabi SAW untuk mencuci tidak pernah diriwayatkan dalam hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Ketiga, diamnya Nabi SAW terhadap perbuatan Aisyah r.a. tidak serta-merta menunjukkan keharusan, yaitu keharusan untuk membersihkan air mani. Akan tetapi, diamnya Nabi SAW adalah menunjukkan keutamaan membersihkan mani dari segi kesehatan dan kebersihan, karena beliau tidak pernah membatasi hanya dengan mencuci saja, dengan bukti hadits yang telah disebutkan sebelumnya mengenai pengerikan dan pengusapan.
Asy Syaukani menukil riwayat dari Al Hafizh Ibnu Hajar, bahwasannya beliau berkata, "Perintah untuk mencucinya (yaitu air mani), adalah tidak ada asalnya".
Al Kamal bin Himam dalam Fathul Qadir menyatakan bahwa hal itu adalah perbuatan Aisyah r.a. adapun Nabi SAW, apakah beliau menyuruhnya atau tidak, Allahu A'lam.
Az Zaila'iy dalam Nashbu ar Riwayah mengatakan bahwa hadits itu adalah hadits gharib. Ibnul Jauzy berkata, "hadits yang tidak pernah diketahui".
Adapun hadits Ammar bin Yasir, diriwayatkan dari jalur Tsabit bin Hammad. Mereka telah bersepakat untuk tidak mengambil hadits darinya. Maka dari itu, Baihaqy mengatakan bahwa hadits itu adalah bathil (tidak benar), karena Tsabit bin Hammad adalah muttaham (tertuduh).
Hanafiyah menjawab:
Kendatipun demikian halnya, kami masih memiliki hadits serupa dengan jalur yang lain, yaitu riwayat Ibrahim bin Zakaria dari Hammad bin Salamah dari Ali bin Zaid. Maka, bisa dijadikan hujjah.
2. Komentar:
Ibrahim bin Zakaria adalah dla'if. Al Hafizh mengomentari, "dia telah keliru, hadits tersebut yang meriwayatkan adalah Tsabit bin Hammad, bukan Hammad bin Salamah". Maka, tidak dapat dijadikan hujjah, terlebih hadits tersebut bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas di atas.
3. Diskusi seputar kelompok ketiga
Hampir sama dengan diskusi poin kedua. Yaitu tidak adanya perintah Nabi SAW yang mewajibkan pencucian air mani.
Wallahu A'lam bishowab.
diambil dari forum http://isykarima.forumotion.com/t10-air-mani-najis-atau-suci