Oleh Purwanto Setiadi
Seperti kebanyakan pemusik kontemporer, nama R. Franki S. Notosudirdjo tidak seketika menimbulkan “dering” di ingatan orang kebanyakan. Padahal, sejak pada 1978 dia digandeng sutradara Teguh Karya untuk mengisi ilustrasi film “November 1928”, kontribusinya pada perkembangan musik di negeri ini sulit diabaikan. Ini bila lanskap musik tidak dibatasi hanya pada ranah arus besar.
Franki, yang biasa dipanggil “Raden”, tergolong di antara sedikit komponis yang percaya dan menaruh perhatian besar pada potensi musik tradisional Indonesia. Seperti kita ketahui, musik tradisional bukanlah daya tarik yang gemerlap bagi mereka yang bergelut di wilayah kesenian demi mengejar penghasilan sebesar-besarnya.
Bagi Franki, kini 58 tahun, justru sebaliknya: musik tradisional “menyimpan nilai besar yang bisa melampaui apa yang sudah dicapai oleh musik-musik Afrika”.
Tetapi pendapat mengenai nilai komersial itu datang belakangan. Mulanya, angan-angan Franki dipenuhi cara mentransformasikan musik tradisional — dari sekadar seni di ruang-ruang terbatas menjadi musik yang bisa diapresiasi kalangan yang lebih luas.
Musik tradisional memasuki hidup Franki ketika dia belajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta). Kala itu, Frans Hariyadi (seorang dosen yang barangkali juga etnomusikolog pertama di negeri ini) biasa mengundang pemusik dari Betawi, Jawa, Bali, atau daerah lain ke kampus.
Ketika sang dosen harus meninggalkan LPKJ pada 1976, program itu pun ikut hijrah. Tapi Franki sudah telanjur memendam dorongan besar untuk menulis komposisi pertamanya untuk gamelan.
Komposisi itu rampung dibuat dalam tiga bulan tetapi segera harus mendarat di arsip pribadinya. Soalnya, tak ada seorang pun pemusik tradisional yang bisa memainkan komposisi tersebut (karena tidak bisa membaca notasi yang dia tulis).
Franki baru bisa mewujudkan keinginannya itu sepulang dari Kalimantan — tempat dia menghabiskan waktu setahun untuk mempelajari musik dan kultur suku Dayak. Atas ajakan Teguh Karya, dia membuat ilustrasi musik untuk film “November 1928”, komposisi yang sepenuhnya harus dimainkan dengan gamelan. Dan kali ini dia bisa mendapatkan orang-orang yang mampu memainkannya.
Komposisi itu (pertama kalinya ilustrasi musik untuk film dimainkan dengan gamelan) memenangi Piala Citra tahun 1979. Sukses ini mengantarkan Franki ke proyek-proyek ilustrasi film selanjutnya, termasuk Nagabonar karya Deddy Mizwar. Dia pun memperoleh kesempatan lebih banyak untuk mengeksplorasi kecintaannya pada musik tradisional Indonesia.
Dia melakukan semua itu dengan pandangan berkesenian yang “ditemukan”-nya ketika tinggal di Kalimantan: bahwa seni dan budaya harus jadi bagian kehidupan sehari-hari, bukannya dipisah-pisahkan. Dengan kata lain, seni merupakan sesuatu yang dikerjakan demi kehidupan, bukan sebaliknya (yang semula dia percayai).
Franki sempat mengalami jeda dari kesibukan kreatif di Tanah Air, suatu istirahat yang sebenarnya justru semakin menguatkan visinya. Pada 1986, dia memperoleh kesempatan menimba ilmu di Amerika Serikat dan berkeliling ke sejumlah negara untuk belajar, mengajar, dan menyelenggarakan pertunjukan.
Dia kembali pada 2008, setelah lulus program doktor bidang etnomusikologi di University of Wisconson-Madison. Kepulangannya itu membawanya lagi ke impian sejak masih kuliah di LPKJ. Dia ingin mewujudkan orkestra besar yang menghimpun pemusik dan instrumen yang ada di seluruh penjuru Indonesia.
Orkestra ini, katanya, akan menyadarkan orang bahwa Indonesia memang kaya. Lebih dari itu, orkestra ini akan menjadi sarana yang dia yakini bisa memperlihatkan “Bhineka Tunggal Ika dalam praktek”.
Dengan dukungan 60 pemusik tradisional yang memainkan 45 macam instrumen, dia mendirikan Indonesian National Orchestra. Pada Mei 2010, debut orkestra ini sukses dihadiri sejumlah artis dan seniman terkemuka di Balairung Sapta Pesona Gedung Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta.
Hanya memainkan dua nomor komposisi, “Concerto for Indonesian National Orchestra” dan “Romance D’Amor”, orkestra ini berhasil mengekspresikan apa yang dibayangkan Franki.
Pujian datang, misalnya, dari Addie M.S. Seusai pertunjukan, konduktor Twilight Orchestra ini berkata, “Semoga ini tetap berlanjut dengan komposisi-komposisi lainnya.”
Sukses “uji coba” itu semakin membesarkan hati Franki. Dia mengharapkan inisiatifnya itu bisa mengilhami semakin banyak orang untuk memberi dukungan bagi kegiatan kesenian di Indonesia. Masalahnya, kesempatan untuk itu tak mudah didapatkan, selain barangkali karena gagasannya terlalu maju, juga terutama mengingat biaya penyelenggaraan konser yang tak murah.
Tetapi, dengan keyakinannya dan kegigihannya yang telah melampaui tiga dasawarsa, barangkali tinggal soal waktu saja sebelum harapan Franki itu terwujud.
--
Foto: Tempo/Jacky Rachmansyah