Baru-baru ini media massa mengekspose kembali berita tertangkapnya seorang anggota ”dewan yang terhormat” saat menerima ”sumbangan” terkait dalam sebuah proyek pengembangan pelabuhan yang melibatkan sebuah institusi pemerintah. Kasus terakhir ini adalah sebuah noktah dari rentetan kejadian yang beberapa kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dapat diungkap oleh lembaga penegak hukum. Dari beberapa kasus tersebut ada hal yang dapat kita cermati terutama kasus yang terkait dengan beberapa anggota wakil rakyat.
Seperti kita ketahui bahwa para anggota wakil rakyat tersebut sering dikritisi oleh elemen masyarakat karena fasilitas negara yang disediakan untuk mereka baik berupa gaji, tunjangan dan segala kenikmatan lainnya sudah tergolong bagus dan mengundang perasaan iri dari masyarakat pada umumnya. Dari kasus terakhir ini mungkin dapat mematahkan persepsi masyarakat pada umumnya bahwa penyebab utama perilaku korupsi adalah karena penghasilan yang rendah dan tidak memadai. Namun ternyata dengan penghasilan dan fasilitas yang baguspun masih mendorong orang untuk melakukan KKN. Jadi hal apa yang melandasi orang melakukan tindakan korupsi ?
Korupsi muncul akibat Need of Achievement dari manusia terlalu berlebihan.
Keinginan untuk melebihi orang lain berdasarkan budaya yang berlaku di lingkungan tersebut.Hal tersebut yang menjadikan korupsi dapat bermacam-macam bentuknya. Selain uang dan kekuasaan yang biasa dilakukan di Indonesia, bentuk lain bisa berupa korupsi dogma, korupsi hukum, korupsi ayat suci, korupsi dalil, korupsi nilai rapor dan banyak lagi bentuk korupsi yang tidak kita sadari. Dan semuanya dilakukan atas dasar kebutuhan melebihi manusia lain terlalu berlebihan. Pribadi sportif yang mau menerima batasan diri untuk kalah dengan orang lain adalah wujud dari Need of Achievement yang ideal.
Jangan Lagi Berpenyakit Korupsi.
Seperti halnya mereka yang berprestasi menonjol, anak-anak orang kaya atau yang berkedudukan tinggi, biasanya lebih dikenal di antara teman sekolah/kuliah maupun pengajar.
Hal ini bisa menjadi kebanggaan bagi anak pejabat/pengusaha tersebut.
Namun, tidak selalu kebanggaan yang mereka rasakan. Seperti yang terjadi pada Netty, anak seorang bupati. Bukan kebanggaan yang dirasakannya, justru malu tak terkira. Ayahnya diketahui terlibat korupsi senilai ratusan juta rupiah.
Kini Netty bingung. Bukan saja malu pada teman di kampus dan masyarakat yang mengenalnya. Ia tidak habis pikir, mengapa ayah yang dikiranya baik dan bermoral itu terbukti di pengadilan sebagai koruptor.
Mengapa Seseoramg Korupsi ?
Seringkali orang berpikir, antara sikap dan perilaku itu selalu sesuai. Kenyataannya tidak. Seseorang yang menyukai produk tertentu, belum tentu menggunakannya. Mungkin karena harganya tak terjangkau. Sebaliknya, meski seseorang tidak suka rokok, belum tentu ia tidak merokok. ia merokok mungkin karena ingin seperti teman-temannya.
Demikian juga halnya korupsi.
Tidak ada orang yang setuju dengan korupsi, meski pada kenyataannya korupsi begitu merajalela di negeri ini. Seolah-olah siapa saja yang masuk dalam lingkungan pemerintahan, birokrasi, atau partai politik akan selalu terbelit tindakan korupsi. Bahkan, korupsi bagi pelakunya tidak lagi dirasa sebagai hal tabu, melainkan perbuatan yang wajar.
Mengapa bisa demikian ?
1. Kekaburan Identitas
Kedudukan, menjadi kaya dalam waktu singkat, menikmati hidup mewah, telah menjadi gaya hidup bersama pada 30-an tahun terakhir ini. Tidak enak dan aneh rasanya bergaya hidup sederhana di tengah lingkungan sosial yang borjuis. Demikian juga tindakan meminta komisi dari para pengusaha yang memerlukan izin, melakukan mark-up proyek, memotong anggaran pembangunan, dan sebagainya. Lalu diikuti dengan langkah bagi-bagi rezeki dengan rekan sekerja, membuat tindakan korupsi tidak lagi terasa sebagai korupsi, melainkan kebiasaan dalam sistem sosial.
Dalam situasi bersama orang lain, individu mengalami kekaburan identitas (kesadaran akan identitas pribadinya cenderung melemah), sehingga kurang peduli adanya penilaian dari orang lain. Rasa tanggung jawab pribadi pun melemah. Korupsi tak lagi terasa sebagai korupsi karena bukan menjadi tanggung jawab pribadi. Bahkan, sebagai sesuatu yang dilakukan secara kolektif, seringkali justru terasa sebagai “kesuksesan” bersama.
2. Konformitas
Bila seseorang menyesuaikan sikap dan perilakunya dengan sikap dan perilaku kelompok, berarti ia melakukan konformitas. Kebenaran yang semula diyakini seseorang dapat berubah seketika bila orang-orang dalam kelompok tampak memiliki keyakinan yang berbeda. Ia cenderung meragukan pendapatnya sendiri yang berbeda dengan pendapat orang lain dalam kelompok.Itulah yang mendasari perubahan sikap dan perilakunya sesuai sikap dan perilaku kelompok.
Dalam psikologi, fenomena konformitas ini sangat dikenal melalui eksperimen yang dilakukan Solomon Asch. Dalam eksperimennya Asch meminta subjek untuk memilih salah satu di antara tiga garis (garis 1, 2, dan 3) yang memiliki tinggi yang sama dengan garis X.
Tugas memilih garis ini sangat sederhana karena cukup jelas bahwa garis nomor 2 yang sama tingginya dengan garis X. Hal ini dapat dijawab benar oleh mayoritas subjek, ketika mereka satu per satu ditugasi memilih garis tersebut, tanpa menyaksikan pilihan orang lain.
Namun, hasilnya sungguh berbeda ketika subjek memilih garis di tengah-tengah keberadaan orang lain. Mereka cenderung mengikuti pilihan orang-orang lain (pilihan mayoritas), meski pilihan itu salah. (Catatan: para pemilih yang mendahului subjek penelitian adalah orang-orang yang dengan sengaja diminta Asch untuk memilih jawaban salah, untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap pilihan subjek).
Demikian pula dalam hal korupsi. Seseorang yang semula bersikap negatif terhadap korupsi akhirnya terseret melakukannya, disebabkan situasi di mana orang lain menunjukkan sikap positif terhadap korupsi dan melakukan korupsi sebagai hal biasa.
3. Kepatuhan
Di dalam masyarakat, mereka yang memiliki kedudukan tinggi dan otoritas wajib dipatuhi orang lain. Seperti halnya konformitas, kepatuhan orang terhadap pemilik otoritas ternyata sedemikian tingginya, hingga mengabaikan suara hati. Dalam psikologi hal ini ditunjukkan oleh eksperimen yang dilakukan Milgram. Ia memberi tugas kepada subjek penelitiannya untuk bertindak sebagai guru yang harus memberikan hukuman berupa sengatan listrik kepada “siswa” yang melakukan kesalahan dalam belajar.
Kepada subjek diberitahukan bahwa eksperimen tersebut dimaksudkan untuk mengetahui efek hukuman terhadap pembelajaran. Dan untuk melakukan tugas itu subjek dibayar (untuk menunjukkan otoritas peneliti terhadap subjek). Tanpa sepengetahuan subjek, sebenarnya para siswa itu adalah anak buah peneliti yang berpura-pura sakit ketika melakukan kesalahan belajar dan mendapat hukuman dari subjek. Dan sengatan listrik itu tidak sungguh-sungguh.
Hukuman akan semakin berat bila kesalahan bertambah, bergerak dari sengatan 15, 30, 45, dst, hingga 450 volt. Ketika sengatan mencapai 120 volt, siswa mulai berteriak kesakitan. Ketika mencapai 150 volt siswa menangis minta dikeluarkan dari ruangan. Sepanjang proses itu, subjek terus mendapat perintah dari peneliti untuk melanjutkan hukuman. Hasilnya di luar dugaan Milgram. Ternyata 25 dari 40 (63 persen) orang yang berpartisipasi sebagai subjek penelitian itu mematuhi perintah memberi hukuman hingga 450 volt, meski sebenarnya mereka tidak tega menyaksikan siswa yang tampak kesakitan atau kejang-kejang.
Hal yang perlu dicatat dari eksperimen itu adalah kenyataan bahwa perintah langsung dan bertahap dari pemilik otoritas, cenderung kita patuhi. Demikian pula korupsi, kadang terjadi karena perintah langsung dari atasan. Dengan perintah yang sedikit demi sedikit, makin lama orang makin jauh terlibat dalam korupsi.
4. Kemungkinan Sukses
Hal lain yang mendukung seseorang melakukan korupsi adalah pertimbangan subjektif mengenai besarnya kemungkinan sukses bila dibanding kemungkinan gagal dalam melakukan korupsi. Korupsi akan dilakukan bila nilai perolehan tindakan itu jauh lebih besar dari nilai kehilangan (Ancok, 1995).
Korupsi di Indonesia merajalela tampaknya ditunjang oleh perangkat hukum yang lunak dan toleransi dari lingkungan sekitar, sehingga pelakunya memiliki kemungkinan sukses yang besar dan kemungkinan gagal yang kecil.
5. Motif Prestasi Rendah
Empat aspek yang telah diuraikan sebelumnya merupakan aspek situasional. Motif berprestasi merupakan aspek internal, berada dalam diri individu itu sendiri. Orang yang memiliki motif berprestasi tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya (McClelland, 1963). Mereka bekerja didorong oleh keinginan kuat untuk menghasilkan mutu yang baik, bukan karena keinginan lain seperti menghasilkan uang sebesar-besarnya dalam waktu singkat.
Mereka menyukai pekerjaan yang menantang, bukan yang ringan.
Masalahnya, sejak Indonesia dibangun dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi (era Soeharto), penghargaan tinggi diberikan kepada pemilik modal. Gaya kepemimpinan nasional yang dikembangkan lebih mendorong penghargaan terhadap kedudukan atau kekayaan perorangan.
Di sisi lain, penghargaan terhadap prestasi sangat kurang. Hal ini tampaknya telah membuat bangsa Indonesia semakin kehilangan daya dorong untuk berprestasi. Hasil penelitian Djamaludin Ancok (1986) menunjukkan, orang yang motif berprestasinya tinggi lebih tidak menyukai perbuatan amoral dibandingkan orang yang motif berprestasinya rendah.
Seperti kita saksikan, dengan rendahnya motif berprestasi, banyak di antara kita cenderung lebih bersikap positif (menyukai) tindakan amoral, termasuk korupsi. @
M.M. Nilam Widyarini
Kandidat Doktor Psikologi.
Seperti kita ketahui bahwa para anggota wakil rakyat tersebut sering dikritisi oleh elemen masyarakat karena fasilitas negara yang disediakan untuk mereka baik berupa gaji, tunjangan dan segala kenikmatan lainnya sudah tergolong bagus dan mengundang perasaan iri dari masyarakat pada umumnya. Dari kasus terakhir ini mungkin dapat mematahkan persepsi masyarakat pada umumnya bahwa penyebab utama perilaku korupsi adalah karena penghasilan yang rendah dan tidak memadai. Namun ternyata dengan penghasilan dan fasilitas yang baguspun masih mendorong orang untuk melakukan KKN. Jadi hal apa yang melandasi orang melakukan tindakan korupsi ?
Korupsi muncul akibat Need of Achievement dari manusia terlalu berlebihan.
Keinginan untuk melebihi orang lain berdasarkan budaya yang berlaku di lingkungan tersebut.Hal tersebut yang menjadikan korupsi dapat bermacam-macam bentuknya. Selain uang dan kekuasaan yang biasa dilakukan di Indonesia, bentuk lain bisa berupa korupsi dogma, korupsi hukum, korupsi ayat suci, korupsi dalil, korupsi nilai rapor dan banyak lagi bentuk korupsi yang tidak kita sadari. Dan semuanya dilakukan atas dasar kebutuhan melebihi manusia lain terlalu berlebihan. Pribadi sportif yang mau menerima batasan diri untuk kalah dengan orang lain adalah wujud dari Need of Achievement yang ideal.
Jangan Lagi Berpenyakit Korupsi.
Seperti halnya mereka yang berprestasi menonjol, anak-anak orang kaya atau yang berkedudukan tinggi, biasanya lebih dikenal di antara teman sekolah/kuliah maupun pengajar.
Hal ini bisa menjadi kebanggaan bagi anak pejabat/pengusaha tersebut.
Namun, tidak selalu kebanggaan yang mereka rasakan. Seperti yang terjadi pada Netty, anak seorang bupati. Bukan kebanggaan yang dirasakannya, justru malu tak terkira. Ayahnya diketahui terlibat korupsi senilai ratusan juta rupiah.
Tidak seperti banyak anak pejabat dan orang kaya yang gemar berpesta-pora, kebetulan Netty menjalani hidup secara wajar, meski tetap lebih mewah daripada rata-rata temannya. Kemewahan itu selama ini ia nikmati tanpa prasangka. Meski jarang mengobrol dengan ayahnya, Netty mengenalnya sebagai figur yang baik, arif, dan disegani oleh orang-orang di sekelilingnya. Ia maklum bahwa ayahnya sangat sibuk, baik sebagai bupati maupun karena perannya dalam partai politik.
Kini Netty bingung. Bukan saja malu pada teman di kampus dan masyarakat yang mengenalnya. Ia tidak habis pikir, mengapa ayah yang dikiranya baik dan bermoral itu terbukti di pengadilan sebagai koruptor.
Mengapa Seseoramg Korupsi ?
Seringkali orang berpikir, antara sikap dan perilaku itu selalu sesuai. Kenyataannya tidak. Seseorang yang menyukai produk tertentu, belum tentu menggunakannya. Mungkin karena harganya tak terjangkau. Sebaliknya, meski seseorang tidak suka rokok, belum tentu ia tidak merokok. ia merokok mungkin karena ingin seperti teman-temannya.
Demikian juga halnya korupsi.
Tidak ada orang yang setuju dengan korupsi, meski pada kenyataannya korupsi begitu merajalela di negeri ini. Seolah-olah siapa saja yang masuk dalam lingkungan pemerintahan, birokrasi, atau partai politik akan selalu terbelit tindakan korupsi. Bahkan, korupsi bagi pelakunya tidak lagi dirasa sebagai hal tabu, melainkan perbuatan yang wajar.
Mengapa bisa demikian ?
1. Kekaburan Identitas
Kedudukan, menjadi kaya dalam waktu singkat, menikmati hidup mewah, telah menjadi gaya hidup bersama pada 30-an tahun terakhir ini. Tidak enak dan aneh rasanya bergaya hidup sederhana di tengah lingkungan sosial yang borjuis. Demikian juga tindakan meminta komisi dari para pengusaha yang memerlukan izin, melakukan mark-up proyek, memotong anggaran pembangunan, dan sebagainya. Lalu diikuti dengan langkah bagi-bagi rezeki dengan rekan sekerja, membuat tindakan korupsi tidak lagi terasa sebagai korupsi, melainkan kebiasaan dalam sistem sosial.
Dalam situasi bersama orang lain, individu mengalami kekaburan identitas (kesadaran akan identitas pribadinya cenderung melemah), sehingga kurang peduli adanya penilaian dari orang lain. Rasa tanggung jawab pribadi pun melemah. Korupsi tak lagi terasa sebagai korupsi karena bukan menjadi tanggung jawab pribadi. Bahkan, sebagai sesuatu yang dilakukan secara kolektif, seringkali justru terasa sebagai “kesuksesan” bersama.
2. Konformitas
Bila seseorang menyesuaikan sikap dan perilakunya dengan sikap dan perilaku kelompok, berarti ia melakukan konformitas. Kebenaran yang semula diyakini seseorang dapat berubah seketika bila orang-orang dalam kelompok tampak memiliki keyakinan yang berbeda. Ia cenderung meragukan pendapatnya sendiri yang berbeda dengan pendapat orang lain dalam kelompok.Itulah yang mendasari perubahan sikap dan perilakunya sesuai sikap dan perilaku kelompok.
Dalam psikologi, fenomena konformitas ini sangat dikenal melalui eksperimen yang dilakukan Solomon Asch. Dalam eksperimennya Asch meminta subjek untuk memilih salah satu di antara tiga garis (garis 1, 2, dan 3) yang memiliki tinggi yang sama dengan garis X.
Tugas memilih garis ini sangat sederhana karena cukup jelas bahwa garis nomor 2 yang sama tingginya dengan garis X. Hal ini dapat dijawab benar oleh mayoritas subjek, ketika mereka satu per satu ditugasi memilih garis tersebut, tanpa menyaksikan pilihan orang lain.
Namun, hasilnya sungguh berbeda ketika subjek memilih garis di tengah-tengah keberadaan orang lain. Mereka cenderung mengikuti pilihan orang-orang lain (pilihan mayoritas), meski pilihan itu salah. (Catatan: para pemilih yang mendahului subjek penelitian adalah orang-orang yang dengan sengaja diminta Asch untuk memilih jawaban salah, untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap pilihan subjek).
Demikian pula dalam hal korupsi. Seseorang yang semula bersikap negatif terhadap korupsi akhirnya terseret melakukannya, disebabkan situasi di mana orang lain menunjukkan sikap positif terhadap korupsi dan melakukan korupsi sebagai hal biasa.
3. Kepatuhan
Di dalam masyarakat, mereka yang memiliki kedudukan tinggi dan otoritas wajib dipatuhi orang lain. Seperti halnya konformitas, kepatuhan orang terhadap pemilik otoritas ternyata sedemikian tingginya, hingga mengabaikan suara hati. Dalam psikologi hal ini ditunjukkan oleh eksperimen yang dilakukan Milgram. Ia memberi tugas kepada subjek penelitiannya untuk bertindak sebagai guru yang harus memberikan hukuman berupa sengatan listrik kepada “siswa” yang melakukan kesalahan dalam belajar.
Kepada subjek diberitahukan bahwa eksperimen tersebut dimaksudkan untuk mengetahui efek hukuman terhadap pembelajaran. Dan untuk melakukan tugas itu subjek dibayar (untuk menunjukkan otoritas peneliti terhadap subjek). Tanpa sepengetahuan subjek, sebenarnya para siswa itu adalah anak buah peneliti yang berpura-pura sakit ketika melakukan kesalahan belajar dan mendapat hukuman dari subjek. Dan sengatan listrik itu tidak sungguh-sungguh.
Hukuman akan semakin berat bila kesalahan bertambah, bergerak dari sengatan 15, 30, 45, dst, hingga 450 volt. Ketika sengatan mencapai 120 volt, siswa mulai berteriak kesakitan. Ketika mencapai 150 volt siswa menangis minta dikeluarkan dari ruangan. Sepanjang proses itu, subjek terus mendapat perintah dari peneliti untuk melanjutkan hukuman. Hasilnya di luar dugaan Milgram. Ternyata 25 dari 40 (63 persen) orang yang berpartisipasi sebagai subjek penelitian itu mematuhi perintah memberi hukuman hingga 450 volt, meski sebenarnya mereka tidak tega menyaksikan siswa yang tampak kesakitan atau kejang-kejang.
Hal yang perlu dicatat dari eksperimen itu adalah kenyataan bahwa perintah langsung dan bertahap dari pemilik otoritas, cenderung kita patuhi. Demikian pula korupsi, kadang terjadi karena perintah langsung dari atasan. Dengan perintah yang sedikit demi sedikit, makin lama orang makin jauh terlibat dalam korupsi.
4. Kemungkinan Sukses
Hal lain yang mendukung seseorang melakukan korupsi adalah pertimbangan subjektif mengenai besarnya kemungkinan sukses bila dibanding kemungkinan gagal dalam melakukan korupsi. Korupsi akan dilakukan bila nilai perolehan tindakan itu jauh lebih besar dari nilai kehilangan (Ancok, 1995).
Korupsi di Indonesia merajalela tampaknya ditunjang oleh perangkat hukum yang lunak dan toleransi dari lingkungan sekitar, sehingga pelakunya memiliki kemungkinan sukses yang besar dan kemungkinan gagal yang kecil.
5. Motif Prestasi Rendah
Empat aspek yang telah diuraikan sebelumnya merupakan aspek situasional. Motif berprestasi merupakan aspek internal, berada dalam diri individu itu sendiri. Orang yang memiliki motif berprestasi tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya (McClelland, 1963). Mereka bekerja didorong oleh keinginan kuat untuk menghasilkan mutu yang baik, bukan karena keinginan lain seperti menghasilkan uang sebesar-besarnya dalam waktu singkat.
Mereka menyukai pekerjaan yang menantang, bukan yang ringan.
Masalahnya, sejak Indonesia dibangun dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi (era Soeharto), penghargaan tinggi diberikan kepada pemilik modal. Gaya kepemimpinan nasional yang dikembangkan lebih mendorong penghargaan terhadap kedudukan atau kekayaan perorangan.
Di sisi lain, penghargaan terhadap prestasi sangat kurang. Hal ini tampaknya telah membuat bangsa Indonesia semakin kehilangan daya dorong untuk berprestasi. Hasil penelitian Djamaludin Ancok (1986) menunjukkan, orang yang motif berprestasinya tinggi lebih tidak menyukai perbuatan amoral dibandingkan orang yang motif berprestasinya rendah.
Seperti kita saksikan, dengan rendahnya motif berprestasi, banyak di antara kita cenderung lebih bersikap positif (menyukai) tindakan amoral, termasuk korupsi. @
M.M. Nilam Widyarini
Kandidat Doktor Psikologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar