SAYA terkesima dengan apa yang disampaikan seorang ibu setengah baya. Konon, menurut ajaran agama yang dianutnya, manusia dilahirkan sebagai pemimpin. Tuhan memerintahkan seluruh alam semesta, termasuk malaikat dan iblis, bersujud pada manusia. Ini berarti, lanjut ibu tadi, manusia ditakdirkan mengelola sekaligus bersahabat dengan alam. Manusia harus memelihara, memimpin, dan mengendalikan energi baik maupun buruk dalam alam ini.
Ilustrasi tersebut ternyata sebuah keniscayaan. Ucapan ibu itu bukan sekadar dogma agama. Buktinya ada dan terjadi dalam pengalaman nyata. Pengalaman saya ini membuktikan kebenaran ucapan ibu tadi.
Ceritanya begini. Ada seorang sales person yang aktif. Sebutlah namanya Rusdy. Ia sudah bekerja keras. Namun, hasil keringatnya ternyata tidak pernah seimbang dengan energi yang dikeluarkannya. Padahal, banyak orang meyakini, semua pekerja keras biasanya mendapatkan hasil optimal.
Saya kemudian mencoba menyelami kehidupan sehari-hari Rusdy. Saya ingin mengorek kebiasaan buruknya. Hasilnya, saya akhirnya tahu ternyata dia kerap berkata-kata negatif, kerap berprasangka negatif, dan kerap memandang orang lain dalam kaca mata negatif.
Ada contoh nyatanya. Tiap hendak bekerja, Rusdy acap menggerutu. Ini gara-gara ia harus bangun pagi. Ketika jalanan macet, dia mengumpat. Ia melecehkan diri sendiri sebagai pria malang yang miskin, tidak mampu membeli mobil ber-AC yang bagus.
Kenyataan itu membawa akibat. Rusdy akhinya selalu mengirimkan sinyal negatif ke pada diri sendiri. Ia menyalahkan seluruh alam dan isinya karena ketidaknyamanan yang dialaminya. Rusdy bukan pribadi yang cerdas untuk cepat menyesuaikan diri dengan semua kondisi alam yang dinamis. Padahal, Rusdy seharusnya tidak menjalani kehidupan semacam itu saat zaman terus bergerak, berubah cepat seperti siluman. Sementara manusia dituntut terus berkompetisi sebagai pribadi profesional.
Betatapun Rusdy sebenarnya hanya berperasaan dan berpikir negatif. Dia tidak bertindak negatif. Tetapi, bukankah awal segala tindakan negatif dari pribadi negatif? Jika asumsinya begini, berarti Rusdy berpotensi melakukan tindakan negatif dong.
Suatu ketika saya berada semobil dengan Rusdy. Dia sempat nyeletuk, “Saya sudah bosan menjadi orang baik, kok tetap saja melarat. Saya capek menjadi sales yang jujur, tetapi tetap sengsara.”
Saya menyahut, “Anda tidak sengsara, tetapi merasa sengsara. Anda merasa baik, tetapi Anda belum baik. Pribadi yang baik selalu berbaik sangka, dan memandang segala hal negatif sebagai bagian proses pembelajaran untuk meningkatkan martabat. Sesungguhnya tidak ada kegagalan, kecuali itu semua harus dianggap sebagai proses pembelajaran. Apakah Anda banyak belajar atau justru banyak menghujat.” Rusdy terdiam, sorot matanya menatap tajam ke arah saya.
Saya kemudian merenungkan pertemuan saya dengan Rusdy tadi. Saya teringat teori Socrates tentang ciri manusia. Minimal ada tiga ciri makhluk ciptaan Tuhan, yaitu bodoh, merasa pintar, serta merasa benar dan keras kepala. Rusdy tergolong pribadi yang berpotensi besar melakukan hal negatif. Tabungan emosi buruknya hanya menanti waktu untuk meledak sewaktu-waktu.
Rusdy seharusnya mampu bangkit dari keterpurukan pribadinya. Ini jika ia memandang segala tantangan sebagai proses pendewasaan diri. Sangatlah naïf jika kita menginginkan dunia dan orang lain seperti yang kita inginkan. Dunia sebenarnya penuh perbedaan. Di situlah indahnya dunia.
Jika Rusdy berhenti melecehkan dirinya, berhenti mengumpat segala hal, dan menjalani hidup ini dengan antusias, maka alam juga akan menyediakan banyak kesempatan dengan antusias. Usus Rusdy mengeluh, merasa percuma diisi makanan, karena esok pagi pasti dikeluarkan lagi. Usus Rusdy mengeluh karena ia bertugas berat untuk mencerna makanan, dan mengalirkan seluruh sarinya ke berbagai tempat dalam tubuh.
Sementara usus saya menjawab, dirinya sangat bangga diisi makanan untuk dicerna, karena mampu memberikan sumbangan positif bagi seluruh organ, mampu menyumbangkan energi untuk menggerakkan organ lain, dan membuat kehidupan terus berlangsung. Usus saya bangga, karena biarpun esok pagi dikeluarkan, ia yakin akan segera diisi penuh lagi.
Sesunguhnya usus Rusdy dan usus saya bekerja dengan intensitas sama. Hanya saja, cara pandanglah yang berbeda.
Saya hanya membayangkan jika Rusdy mengawinkan kerja keras dan ketulusan, ia akan segera mendapat hasil nyata. Jika Rusdy mampu menjadi pribadi yang matang, berperasaan baik, berpikir baik, berkata baik, dan bertindak baik, ia akan memiliki karakter baik. Karakter baik selalu menghasilkan nasib baik.
Andai Rusdy bisa melakukan itu, maka ia akan mementahkan keyakinan iblis, bahwa manusia lebih rendah daripada iblis.
Maka, Rusdy akan menjauhkan diri dari keputusasaan, dan membunuh semua niat buruk untuk pensiun menjadi orang baik.
* Bimala Rurin Mardewita
Konsultan kepribadian
Sumber : http://www.cybertokoh.com/index.php?option=com_content&task=view&id=451&Itemid=95
Ilustrasi tersebut ternyata sebuah keniscayaan. Ucapan ibu itu bukan sekadar dogma agama. Buktinya ada dan terjadi dalam pengalaman nyata. Pengalaman saya ini membuktikan kebenaran ucapan ibu tadi.
Ceritanya begini. Ada seorang sales person yang aktif. Sebutlah namanya Rusdy. Ia sudah bekerja keras. Namun, hasil keringatnya ternyata tidak pernah seimbang dengan energi yang dikeluarkannya. Padahal, banyak orang meyakini, semua pekerja keras biasanya mendapatkan hasil optimal.
Saya kemudian mencoba menyelami kehidupan sehari-hari Rusdy. Saya ingin mengorek kebiasaan buruknya. Hasilnya, saya akhirnya tahu ternyata dia kerap berkata-kata negatif, kerap berprasangka negatif, dan kerap memandang orang lain dalam kaca mata negatif.
Ada contoh nyatanya. Tiap hendak bekerja, Rusdy acap menggerutu. Ini gara-gara ia harus bangun pagi. Ketika jalanan macet, dia mengumpat. Ia melecehkan diri sendiri sebagai pria malang yang miskin, tidak mampu membeli mobil ber-AC yang bagus.
Kenyataan itu membawa akibat. Rusdy akhinya selalu mengirimkan sinyal negatif ke pada diri sendiri. Ia menyalahkan seluruh alam dan isinya karena ketidaknyamanan yang dialaminya. Rusdy bukan pribadi yang cerdas untuk cepat menyesuaikan diri dengan semua kondisi alam yang dinamis. Padahal, Rusdy seharusnya tidak menjalani kehidupan semacam itu saat zaman terus bergerak, berubah cepat seperti siluman. Sementara manusia dituntut terus berkompetisi sebagai pribadi profesional.
Betatapun Rusdy sebenarnya hanya berperasaan dan berpikir negatif. Dia tidak bertindak negatif. Tetapi, bukankah awal segala tindakan negatif dari pribadi negatif? Jika asumsinya begini, berarti Rusdy berpotensi melakukan tindakan negatif dong.
Suatu ketika saya berada semobil dengan Rusdy. Dia sempat nyeletuk, “Saya sudah bosan menjadi orang baik, kok tetap saja melarat. Saya capek menjadi sales yang jujur, tetapi tetap sengsara.”
Saya menyahut, “Anda tidak sengsara, tetapi merasa sengsara. Anda merasa baik, tetapi Anda belum baik. Pribadi yang baik selalu berbaik sangka, dan memandang segala hal negatif sebagai bagian proses pembelajaran untuk meningkatkan martabat. Sesungguhnya tidak ada kegagalan, kecuali itu semua harus dianggap sebagai proses pembelajaran. Apakah Anda banyak belajar atau justru banyak menghujat.” Rusdy terdiam, sorot matanya menatap tajam ke arah saya.
Saya kemudian merenungkan pertemuan saya dengan Rusdy tadi. Saya teringat teori Socrates tentang ciri manusia. Minimal ada tiga ciri makhluk ciptaan Tuhan, yaitu bodoh, merasa pintar, serta merasa benar dan keras kepala. Rusdy tergolong pribadi yang berpotensi besar melakukan hal negatif. Tabungan emosi buruknya hanya menanti waktu untuk meledak sewaktu-waktu.
Rusdy seharusnya mampu bangkit dari keterpurukan pribadinya. Ini jika ia memandang segala tantangan sebagai proses pendewasaan diri. Sangatlah naïf jika kita menginginkan dunia dan orang lain seperti yang kita inginkan. Dunia sebenarnya penuh perbedaan. Di situlah indahnya dunia.
Jika Rusdy berhenti melecehkan dirinya, berhenti mengumpat segala hal, dan menjalani hidup ini dengan antusias, maka alam juga akan menyediakan banyak kesempatan dengan antusias. Usus Rusdy mengeluh, merasa percuma diisi makanan, karena esok pagi pasti dikeluarkan lagi. Usus Rusdy mengeluh karena ia bertugas berat untuk mencerna makanan, dan mengalirkan seluruh sarinya ke berbagai tempat dalam tubuh.
Sementara usus saya menjawab, dirinya sangat bangga diisi makanan untuk dicerna, karena mampu memberikan sumbangan positif bagi seluruh organ, mampu menyumbangkan energi untuk menggerakkan organ lain, dan membuat kehidupan terus berlangsung. Usus saya bangga, karena biarpun esok pagi dikeluarkan, ia yakin akan segera diisi penuh lagi.
Sesunguhnya usus Rusdy dan usus saya bekerja dengan intensitas sama. Hanya saja, cara pandanglah yang berbeda.
Saya hanya membayangkan jika Rusdy mengawinkan kerja keras dan ketulusan, ia akan segera mendapat hasil nyata. Jika Rusdy mampu menjadi pribadi yang matang, berperasaan baik, berpikir baik, berkata baik, dan bertindak baik, ia akan memiliki karakter baik. Karakter baik selalu menghasilkan nasib baik.
Andai Rusdy bisa melakukan itu, maka ia akan mementahkan keyakinan iblis, bahwa manusia lebih rendah daripada iblis.
Maka, Rusdy akan menjauhkan diri dari keputusasaan, dan membunuh semua niat buruk untuk pensiun menjadi orang baik.
* Bimala Rurin Mardewita
Konsultan kepribadian
Sumber : http://www.cybertokoh.com/index.php?option=com_content&task=view&id=451&Itemid=95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar